TIMES BLITAR, BLITAR – Indonesia telah menapaki berbagai kemajuan dalam pemenuhan hak penyandang disabilitas. Kehadiran UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas menjadi tonggak penting yang menegaskan bahwa penyandang disabilitas bukan objek belas kasihan, melainkan warga negara yang memiliki hak, martabat, dan kesempatan yang sama. Namun, di balik regulasi yang sudah progresif, praktik sehari-hari masih menunjukkan bahwa inklusi belum sepenuhnya hadir sebagai kenyataan.
Hambatan fisik, sikap sosial, dan pendekatan birokratis yang kerap formalistik membuat penyandang disabilitas sering kali hadir tetapi tidak menentukan arah keputusan. Dalam konteks inilah Organisasi Penyandang Disabilitas (OPDis) memainkan peran penting sebagai jembatan antara kebutuhan riil komunitas dan perubahan kebijakan publik.
OPDis bukan hanya wadah berkumpulnya penyandang disabilitas. Lebih dari itu, OPDis menjadi ruang untuk membangun solidaritas, mengorganisir aspirasi, dan memperkuat representasi.
Banyak OPDis bekerja tanpa sorotan, memperjuangkan akses layanan kesehatan, pendidikan, bantuan sosial, hingga memastikan fasilitas publik lebih dapat diakses. Kekuatan OPDis terletak pada pengalaman hidup anggotanya pengalaman yang sering kali tidak tertangkap dalam dokumen kebijakan.
Melalui mandat Pasal 131 UU Nomor 8 Tahun 2016, pemerintah pusat dan daerah sebenarnya wajib melibatkan OPDis dalam penyelenggaraan layanan publik. Artinya, pelibatan OPDis bukan sekadar undangan seremonial, melainkan pengakuan bahwa mereka memiliki otoritas moral dan pengetahuan yang khas.
Dalam kerangka akademik, posisi OPDis dapat dibaca sebagai bagian dari New Social Movements, sebagaimana dijelaskan oleh duo sosiolog Eropa modern yaitu Alain Touraine dan Manuel Castells yaitu gerakan sosial yang berfokus pada pengakuan identitas, martabat, dan hak. Gerakan penyandang disabilitas tidak semata menuntut bantuan, tetapi menuntut perubahan struktur sosial agar lebih inklusif.
Perspektif ini sejalan dengan Social Model of Disability yang menegaskan bahwa disabilitas bukan terletak pada kondisi tubuh seseorang, melainkan hambatan yang diciptakan oleh lingkungan sosial. Dalam model ini, OPDis memiliki posisi strategis untuk memperjuangkan perubahan sistem dan kebijakan.
Belajar dari negara lain, kita melihat bahwa gerakan sosial penyandang disabilitas selalu berawal dari komunitas itu sendiri. Di Amerika Serikat, ADA Movement melahirkan undang-undang disabilitas paling komprehensif setelah aksi-aksi langsung seperti “Capitol Crawl” yaitu aksi protes yang dilakukan para aktivis hak disabilitas pada 12 Maret 1990 di Washington DC yang melibatkan 1000 orang berbaris ke Gedung Capitol untuk menuntut pengesahan Undang-Undang Penyandang Disabilitas Amerika.
Protes ini menjadi peristiwa bersejarah mengingat para pendemo penyandang disabilitas menanggalkan alat bantu masing-masing dengan merangkak ke Gedung Capitol; pesan yang disampaikan bahwa fasilitas publik belum peka terhadap aksesibilitas penyandang disabilitas.
Di Australia, advokasi terstruktur OPDis menghasilkan reformasi besar NDIS (National Disability Insurance Scheme) yakni skema asuransi nasional kepada penyandang disabilitas di Australia. Pelajaran yang dapat diambil adalah: gerakan kuat lahir dari organisasi kuat dan organisasi kuat lahir dari ruang partisipasi yang sungguh-sungguh.
Namun, perjalanan OPDis menuju gerakan sosial inklusif bukan tanpa tantangan. Banyak OPDis masih menghadapi keterbatasan kapasitas, dana operasional, hingga legalitas organisasi. Pelibatan oleh instansi pemerintah kadang bersifat administratif saja, belum sampai pada proses penentuan keputusan.
Budaya paternalistik juga masih sering membuat penyandang disabilitas diposisikan sebagai penerima bantuan, bukan subjek perubahan. Dari pengalaman di lapangan, saya melihat bagaimana OPDis berjuang keras mengimbangi tuntutan advokasi, sementara akses transportasi, teknologi, dan dukungan kelembagaan masih sangat terbatas.
Meski demikian, peluang untuk memperkuat peran OPDis sebagai aktor gerakan sosial sangat terbuka. Pemerintah daerah dapat memulai dengan memperkuat mekanisme pelibatan bermakna dalam musrenbang, perencanaan kebijakan, hingga monitoring layanan.
Masyarakat perlu meninggalkan stigma dan membuka ruang sosial yang lebih inklusif. Dan pekerja sosial memiliki peran signifikan sebagai fasilitator, advokat, serta pendamping komunitas menguatkan kapasitas OPDis agar suaranya semakin tajam dan terarah.
Inklusi bukanlah proyek jangka pendek, melainkan perjalanan panjang yang membutuhkan konsistensi, dialog, dan keberanian. OPDis berada pada posisi strategis untuk menggerakkan perubahan itu.
Jika negara dan masyarakat sungguh-sungguh mendengar, maka suara penyandang disabilitas tidak hanya menjadi aspirasi, tetapi menjadi kekuatan transformasi sosial.
Gerakan sosial inklusif sesungguhnya dimulai ketika mereka yang selama ini terpinggirkan diberi ruang untuk berbicara dan kita benar-benar mau mendengarkan mereka. (*)
***
*) Oleh : M. Rizqi Surya W, Pekerja Sosial Dinas Sosial Kabupaten Blitar.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |