https://blitar.times.co.id/
Berita

Banjir Sumatra: Memenuhi Syarat Bencana Nasional, Mengapa Penetapan Belum Turun?”

Kamis, 04 Desember 2025 - 11:20
Banjir Sumatra 2025: Saat Dampak Meluas, Status Bencana Nasional Masih Menggantung Foto udara kerusakan rumah warga pasca diterjang banjir bandang di Desa Kota Lintang, Kota Kuala Simpang, Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh, Rabu (3/12/2025). Bencana banjir bandang terjadi pada Rabu (26/11) . (ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas)

TIMES BLITAR, JAKARTA – Bencana banjir dan longsor yang melanda sejumlah wilayah di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat akir November 2025 terus menunjukkan dampak yang semakin besar. Data terbaru Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) hingga Rabu (3/12/2025) malam, mencatat 781 korban meninggal dunia, sementara 647 orang masih hilang dan 2.600 lainnya mengalami luka-luka.

BNPB juga melaporkan banjir Sumatra menyebabkan 582.500 warga mengungsi, dan total 3,3 juta jiwa terdampak di tiga provinsi tersebut. Setidaknya 50 kabupaten/kota tercatat mengalami kerusakan akibat banjir dan longsor. Kerusakan berat terutama terjadi pada sektor infrastruktur, yang dinilai membutuhkan penanganan khusus.

Meski dampaknya sangat luas, pemerintah pusat hingga kini belum menetapkan bencana ini sebagai bencana nasional. Keputusan tersebut menuai dorongan dari berbagai pihak, termasuk DPR RI.

DPR Desak Status Bencana Nasional

Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Abidin Fikri, meminta pemerintah segera menaikkan status penanganan di Aceh, Sumut, dan Sumbar menjadi bencana nasional. Menurutnya, langkah itu penting agar penanganan di lapangan dapat berlangsung lebih cepat, terkoordinasi, dan didukung sumber daya yang memadai.

banjir-Sumatra-qw.jpgWarga memindahkan bantuan yang didistribusikan dari Helikopter Caracal Skadron Udara 8 Lanud Atang Sendjaja di daerah terisolir akibat bencana di Nagari Tiku V Jorong, Agam, Sumatera Barat, Senin (1/12/2025). (foto: ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra)

“Kondisinya sudah sangat mengkhawatirkan. Untuk mempercepat mitigasi dan pemulihan warga, pemerintah pusat perlu menetapkan status bencana nasional,” kata Abidin, Rabu (2/12/2025).

Ia menambahkan, penetapan status tersebut memungkinkan bantuan internasional masuk secara terstruktur, sesuai ketentuan UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Dalam skema itu, BNPB menjadi lembaga yang mengatur perizinan serta memastikan perlindungan hukum bagi pihak asing yang terlibat dalam operasi kemanusiaan.

“Bantuan dari negara lain bisa berupa barang, tenaga, peralatan, hingga keahlian khusus yang dibutuhkan,” ujarnya.

Koalisi masyarakat sipil di Aceh juga menyuarakan hal yang sama. Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian, yang menilai dampak bencana telah melampaui kemampuan daerah.

Koalisi tersebut—yang terdiri dari MaTA, LBH Banda Aceh, AJI Banda Aceh, YKPI, dan ICAIOS—menyebutkan bahwa skala kerusakan di tiga provinsi itu sudah sangat besar. Ribuan warga masih terisolasi, puluhan ribu rumah terendam, dan sejumlah fasilitas vital seperti sekolah, jembatan, rumah sakit, serta jalan nasional rusak berat. Di beberapa lokasi, akses transportasi terputus total sehingga bantuan sulit menjangkau warga terdampak.

Mereka juga menyoroti kondisi logistik yang kian menipis, kelangkaan bahan pokok, padamnya listrik, serta gangguan jaringan komunikasi yang membuat operasi tanggap darurat tidak optimal. Dengan kemampuan fiskal daerah yang terbatas—terutama di Aceh—koalisi menilai pemerintah daerah tidak lagi mampu menangani bencana berskala besar ini tanpa intervensi langsung pemerintah pusat.

Pemerintah: Penanganan Sudah Skala Nasional, Status Bukan Masalah Utama

Di sisi lain, pemerintah pusat menilai penetapan status bukan faktor utama dalam memastikan penanganan optimal. Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menyebut pemerintah sudah mengerahkan seluruh sumber daya yang dibutuhkan di tiga provinsi tersebut.

“Yang paling penting bukan statusnya, tapi bagaimana penanganannya. Pemerintah pusat sudah memberikan dukungan penuh kepada daerah, baik dari sisi personel maupun anggaran,” kata Prasetyo di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, Rabu (3/12/2025).

Ia menyebut Presiden telah menginstruksikan seluruh kementerian/lembaga terkait untuk memberikan dukungan maksimal kepada pemerintah daerah. Meski terbuka terhadap bantuan internasional, pemerintah menilai penetapan status darurat bencana nasional belum diperlukan saat ini.

banjir-Sumatra-b.jpgFoto udara jembatan Kuta Blang yang putus akibat diterjang banjir di jalan lintas Nasional Banda Aceh - Sumut di Desa Blang Mee, Kecamatan Kuta Blang, Kabupaten Bireuen, Sabtu (29/11/2025). ANTARA FOTO/Abiyyu/Lmo/bar

Status Bencana Menjadi Kewenangan Presiden 

Menurut regulasi yang berlaku, keputusan penetapan sebuah bencana sebagai Bencana Nasional sepenuhnya berada di tangan Presiden RI Prabowo Subianto, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

Dalam Pasal 51 UU tersebut dijelaskan bahwa presiden dapat menetapkan status keadaan darurat bencana nasional melalui Keputusan Presiden (Keppres). 

Meski demikian, tidak setiap bencana berskala besar otomatis dinaikkan statusnya menjadi bencana nasional. Pemerintah pusat menilai tingkat keparahan dampak dan kapasitas daerah dalam menangani situasi sebelum mengambil keputusan.

UU Penanggulangan Bencana juga mengatur sejumlah indikator yang menjadi dasar penetapan status. Pasal 7 ayat 2 menyebut lima parameter, yakni:

  • jumlah korban jiwa
  • kerugian harta benda
  • tingkat kerusakan sarana dan prasarana
  • luas wilayah terdampak
  • dampak sosial ekonomi bagi masyarakat.

Apabila bencana dinilai melampaui kemampuan pemerintah daerah, baik dalam penanganan darurat maupun pemulihan, barulah status dapat dinaikkan menjadi bencana nasional. Namun, jika daerah masih dinilai mampu mengoordinasikan respons, maka status bencana tetap berada dalam kategori bencana daerah.

Pedoman Penetapan Status Keadaan Darurat Bencana yang dikeluarkan BNPB menegaskan kembali prinsip tersebut: kapasitas daerah menjadi faktor kunci penilaian. Pemerintah pusat hanya mengambil alih jika mekanisme tanggap darurat daerah benar-benar tidak mampu mengimbangi skala bencana.

Penyebab Bencana Sumatra

Sejumlah organisasi lingkungan menilai banjir bandang dan longsor yang melanda Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat pada akhir November bukan sekadar fenomena alam.

banjir-Sumatra-c.jpgPetugas menggunakan alat berat membersihkan sampah kayu gelondongan pasca banjir bandang di Desa Aek Garoga, Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, Sabtu (29/11/2025). Sampah kayu gelondongan tersebut menumpuk di pemukiman warga dan sungai pasca banjir bandang pada Selasa (25/11). (ANTARA FOTO/Yudi Manar)

Dikutip dari NU Online, Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) menegaskan bahwa bencana tersebut merupakan konsekuensi langsung dari kerusakan hutan di kawasan hulu. Deforestasi, pembukaan lahan berskala besar, serta lemahnya pengawasan perizinan membuat kawasan penyangga air kehilangan fungsi ekologisnya.

Menurut JPIK, jejak kayu gelondongan dan material yang terbawa arus menunjukkan adanya aktivitas pembalakan di daerah hulu, baik melalui izin resmi maupun praktik ilegal. Padatnya izin tambang, perkebunan, dan proyek energi di sepanjang bentang Bukit Barisan juga memperparah kerentanan Daerah Aliran Sungai (DAS) di Sumatra. Kondisi tersebut membuat lereng-lereng pegunungan dan wilayah resapan air kian rapuh menghadapi hujan ekstrem.

Pandangan serupa disampaikan ahli hidrologi dari Universitas Gadjah Mada, Dr. Hatma Suryatmojo. Dikutip dari ugm.ac.id, Ia menjelaskan bahwa hujan dengan intensitas sangat tinggi—dipengaruhi dinamika atmosfer dan keberadaan Siklon Tropis Senyar—memang menjadi pemicu bencana.

Namun, dampak destruktifnya justru berasal dari hilangnya tutupan hutan yang berperan sebagai penahan air alami. Ketika hutan gundul, kemampuan tanah menyerap air turun drastis, limpasan permukaan meningkat, dan risiko longsor ikut melonjak. Material longsoran yang menumpuk di alur sungai dapat membentuk bendungan alami yang sewaktu-waktu jebol dan menciptakan banjir bandang besar.

Kerusakan hutan di tiga provinsi tersebut tergambar dari data deforestasi dalam dua dekade terakhir. Aceh kehilangan lebih dari 700 ribu hektare hutan sejak 1990, Sumatra Utara tinggal memiliki sekitar 29 persen tutupan hutan yang sebagian terfragmentasi, sementara Sumatra Barat mencatat kehilangan ratusan ribu hektare tutupan pohon dalam rentang 2001–2024. Kondisi ini menandakan bahwa sistem penyangga hidrologis di kawasan hulu telah melemah jauh sebelum bencana terjadi.

Para ahli menilai rangkaian banjir dan longsor pada November 2025 merupakan akumulasi tekanan jangka panjang terhadap lingkungan. Cuaca ekstrem hanya menjadi pemantik; kerusakan ekologis yang meluas membuat daya rusak bencana semakin besar dan menyebar dari hulu hingga ke wilayah hilir. (*)

Pewarta : Wahyu Nurdiyanto
Editor : Wahyu Nurdiyanto
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Blitar just now

Welcome to TIMES Blitar

TIMES Blitar is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.