https://blitar.times.co.id/
Kopi TIMES

Nasib Demokrasi Pasca Pilpres

Kamis, 25 April 2024 - 21:12
Nasib Demokrasi Pasca Pilpres A. Hirzan Anwari, Magister UIN Malang

TIMES BLITAR, MALANG – Jika kesehatan demokrasi di Indonesia salah satunya diukur dari konsistensi partai-partai dalam memperteguh sikap idealismenya (tidak terpengaruh oleh politik praktis dari pemerintahan terpilih). Maka kondisi demokrasi di Indonesia, khususnya pasca pilpres, bisa dikatakan memprihatinkan. 

Pasalnya, partai-partai yang diharapkan sebagai oposisi, kini memberikan sinyal kuat untuk bergabung dengan pemerintah terpilih (Prabowo-Gibran). Sebut saja partai Nasdem. Partai pengusung pasangan AMIN ini secara terang-terangan beberapa kali mengadakan pertemuan dengan Presiden Jokowi. 

Selain Nasdem, partai koalisi AMIN lainnya yang terlihat tidak tahan sebagai oposisi adalah PKB. Partai yang berafiliasi NU ini bukan hanya memberikan sinyal, tetapi sudah terang-terangan menyampaikan bahwa pihaknya siap bergabung dan mendukung agenda-agenda pembangunan nasional yang akan dirancang oleh pemerintah baru. Muhaimin Iskandar, Ketua Umum DPP PKB menjelaskan, pelaksanaan agenda-agenda pembangunan tersebut, ujungnya ialah kemajuan bangsa dan kemakmuran rakyat.

“PKB dan Gerindra sebagai partai yang selama ini bekerja sama di parlemen maupun di eksekutif ingin terus bekerja sama lebih produktif lagi. Apalagi Pak Prabowo sebagai  presiden terpilih akan menghadapi berbagai agenda pembangunan yang begitu menantang di masa yang akan datang,” kata Muhaimin saat jumpa pers bersama Prabowo di Kantor DPP PKB, Jakarta, Rabu (24/04/2024).

Dari polemik di atas, kita perlu memeriksa kembali peran oposisi dalam negara demokrasi. Akankah makna atau nilai-nilai demokrasi tercapai tanpa oposisi?

Memaknai Demokrasi

Ada dua sudut pandang utama dalam membahas demokrasi. Pertama, demokrasi yang berfokus pada persoalan pemilu (election); kedua, demokrasi lebih dari sekedar pemilu, yakni sebuah budaya serta ideologi yang memuat seperangkat nilai yang harus disemaikan, seperti persamaan, partisipasi, kebebasan, toleransi, keadilan, hak-hak universal, dan kesepakatan banyak orang. Kedua sudut pandang ini, terutama sudut pandang yang kedua, sama-sama memiliki misi yang sama, yakni memprioritaskan kedaulatan rakyat. 

Di Indonesia, kedua sudut pandang tersebut sama-sama ada dan berjalan. Namun, nilai-nilai yang terkandung dalam demokrasi, seperti kebebasan, partisipasi, dsb, tidak serta merta dipasrahkan kepada setiap individu, melainkan melalui mobilisasi partai. Keadaan seperti ini, kerap membuat demokrasi di Indonesia melenceng dari misi utamanya. 

Sebabnya, partai-partai di Indonesia lebih tampak sering melakukan politik praktis dengan pemerintah guna menaikkan elektabilitas dan memperkuat posisinya ketimbang memprioritaskan kedaulatan rakyat. Sehingga, demokrasi yang dikatakan oleh Abraham Lincoln, yakni pemerintahan yang dikelola dari (of), oleh (by), dan untuk (for) rakyat, hanya omong kosong.

Untuk kembali mewujudkan misi demokrasi dalam keadaan yang demikian, maka dibutuhkan pihak yang berada di luar pemerintahan atau tidak berkoalisi dengan pemerintah, yang dikenal dengan istilah oposisi, mengingat kedaulatan rakyat tidak terjamin seutuhnya tertampung dan diterjemahkan oleh pemerintah. Dalam konteks inilah, peran oposisi sangat penting, utamanya untuk memastikan pemerintah tidak keluar dari rel kepentingan rakyat.

Oposisi dalam Bingkai Demokrasi

Dalam konteks demokrasi, oposisi menjadi bagian yang tidak terpisahkan dan menjadi salah satu fondasi dalam pemerintahan yang menganut demokrasi. Keberadaan oposisi sangat berarti dan memiliki fungsi yang siginifikan. Ada beberapa fungsi utama oposisi dalam konteks politik, khususnya dalam kehidupan demokrasi: Pertama, sebagai penyeimbang kekuasaan. Kedua, sebagai alternatif penyempurnaan atas kebijakan pemerintah. Ketiga, sebagai stimulus persaingan yang sehat antara elite politik dengan pemerintahan. 

Di Indonesia, keberadaan oposisi sudah muncul sejak era reformasi. Dalam perjalanannya, oposisi bertugas sebagaimana mestinya. Namun, oposisi tidak sepenuhnya menegakkan misi demokrasi, melainkan ada misi lain yang hendak dicapai dibalik gerakan oposisinya. Dengan kata lain, oposisi dipolitisasi untuk memanipulasi demokrasi. 

Ketidakkonsistenan partai-partai pasca pilpres 2024 merupakan salah satu wujudnya yang tampak terang. Seperti dua partai yang telah disebutkan di atas. Ditambah lagi dengan PDIP, yang awalnya berada di pemerintahan, sekarang akan menjadi oposisi, seperti pengakuan sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto. 

Namun, lagi-lagi apakah Keputusan ini berangkat dari naluri kesadaran dalam berdemokrasi? Jangan-jangan keputusan ini merupakan pelampiasan kekecewaan atas penghianatan Jokowi, alih-alih untuk menegakkan demokrasi. Jika skema oposisi di Indonesia terus demikian, maka demokrasi hanyalah aksesoris, bukan ideologis. (*)

***

*) Oleh : A. Hirzan Anwari, Magister UIN Malang 

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
 

Pewarta : Hainorrahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Blitar just now

Welcome to TIMES Blitar

TIMES Blitar is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.